Pelajaran di bawah ini adalah tentang pemikiran
dialektika materialis, atau apa yang dikenal sebagai logika Marxisme.
Betapa mengejutkan, apakah pelajaran ini memang
penting? Di sini berkumpul anggota dan simpatisan dari sebuah partai
revolusioner yang, di tengah-tengah perang dunia ke II, sedang berada di bawah
tekanan pemerintahan. Perang tersebut merupakan sebuah perang terbesar dalam
sejarah dunia. Buruh-buruh industri, kaum revolusioner profesional, berkumpul
bersama bukan untuk membicarakan dan memutuskan sebuah aksi bersama, tapi untuk
mempelajari sebuah ilmu yang menjadi tuntunan—sama seperti matematika tingkat
tinggi—bagi perjuangan politik sehari-hari sekarang ini.
Alangkah berbedanya dengan karikatur yang menyakitkan
tentang gerakan marxis seperti yang di gambarkan oleh tangan-tangan kelas
kapitalis! Kelas-kelas pemilik menggambarkan kaum sosialis yang revolusioner
sebagai orang-orang gila yang culas dan sedang membohongi diri sendiri dan
orang lain dengan pandangan-pandangan fantastisnya tentang dunia kelas buruh.
Kita pun bisa membuat karikatur seperti itu: penguasa-penguasa kapitalis
layaknya seperti anak-anak kecil yang yang sedang marah melihat gambaran sebuah
dunia tanpa ada mereka atau tanpa peran sentral mereka.
Mereka mengaku bahwa mereka lebih logis dan masuk
akal. Akhirnya, kini telah terbukti bahwa, dengan melihat bagaimana cara mereka
memandang dunia, bisa dipisahkan siapa sebenarnya yang irasional dan siapa yang
rasional dan masuk akal: kaum kapitalis kah atau musuhnya—kaum revolusioner.
Susunan masyarakat pada saat ini sedang menuju ke arah kekacauaan dan berlaku
seperti seorang maniak. Mereka menenggelamkan dunia ke dalam pembunuhan massal
untuk kedua kalinya dalam seperempat sejarah manusia; mereka menyalakan obor
peradaban; namun kemudian menghancurkannya tanpa sisa-sisa kemanusiaan. Dan
juru bicara mereka selalu menyebutkan kita “gila”, dan perjuangan kita untuk
sosialisme dilihat sebagai sebuah bukti yang “tidak realistis”.
Mereka yang salah! Dalam pertempuran melawan
kekacauaan-gila kapitalisme, demi sebuah sistim sosialis yang bebas dari
penghisapan dan penindasan kelas, bebas dari perang, bebas dari krisis, bebas
dari perbudakan imperialisme dan bebas dari barbarisme—kita, kaum marxis,
merupakan orang-orang yang paling beralasan dan masuk akal sepanjang hidup
kita. Itu lah mengapa—tidak seperti kelompok-kelompok politik lainnya—kita
harus mempelajari ilmu logika secara serius. Perjuangan kita melawan
kapitalisme, demi sosialisme, tak bisa digagalkan dengan cara menghancurkan
logika kita karena logika kita adalah sebuah alat yang tak dapat dihancurkan.
Logika atau cara pikir dialektika materialis, pasti
lah berbeda dengan logika atau cara pikir borjuis yang ada sekarang ini. Metode
kita, ide-ide kita—seperti yang ingin kita buktikan—lebih ilmiah, jauh lebih
praktis dan jauh lebih “logis” ketimbang logika (cara pikir) lainnya. Kita
menyusunnya dengan berbagai perbandingan dan jauh lebih lengkap karena diisi
oleh prinsip-prinsip mendasar ilmu-pengetahuan yang bisa menemukan logika
hakikat relasi-relasi semua realita—oleh karenanya, hukum-hukum berfikir bisa
disebarkan luaskan pada yang lain (pada masyarakat di sekeliling kita yang
terlihat tak berperasaan) dan dapat dipelajari. Itu lah metode kita—walaupun
harus hidup di tengah-tengah kegilaan kelas kapitalis. Tugas kita adalah
menemukan hukum-hukum yang paling umum dari logika terdalam alam, masyarakat
dan jiwa manusia. Sementara borjuis kehilangan akal sehatnya, kita harus
mencoba mengembangkan dan memperjelas logika kita.
1. Pengertian Awal Logika
Logika adalah sebuah ilmu. Setiap ilmu memperlajari
suatu gerak khusus dalam hubungannya dengan corak gerak material lainnya, dan
berusaha untuk menemukan hukum-hukum umum dan corak tertentu dari gerakan
tersebut. Logika adalah ilmu tentang proses berfikir. Seorang akhli logika
mempelajari kegiatan-kegiatan proses berfikir yang ada di kepala setiap manusia
dan mencoba merumuskan hukum-hukum, bentuk-bentuk dan inter-relasi semua proses
mentalnya.
Dua tipe penting logika pernah muncul dalam dua tahap
perkembangan ilmu logika, yakni: logika
formal dan logika dialektik. Keduanya merupakan bentuk-bentuk
perkembangan tertinggi gerak mental. Keduanya memiliki kesesuaian
fungsinya—pengertian sadar terhadap semua bentuk gerak.
Walaupun
kita baru saja tertarik pada dialektika materialis, jangan lah kita langsung
mempelajari dialektika materialis sebagai cara berfikir. Kita harus mendekati
dialektika secara tidak langsung dengan pertama kali menguji ide-ide mendasar
dari jenis lain cara berfikir: cara berfikir logika formal. Sebagai metode berfikir, logika formal adalah lawan
dari dialektika materialis.
Dalam ilmu logika, mengapa
kita harus memulai pelajaran kita tentang motode dialektika dengan mempelajari
lawannya?
2. Perkembangan Logika
Logika aristoteles mempengaruhi cara berfikir umat
manusia selama dua ribu tahun. Cara fikir tersebut tidak memiliki lawan sampai
kemudian ditantang, dijatuhkan dan menjadi ketinggalan zaman oleh dan karena
dialektika, sebuah sistim besar kedua dalam ilmu cara berfikir. Dialektika
merupakan hasil dari gerakan ilmu-pengetahuan revolusioner selama seabad, yang
dilakukan oleh pekerja-pekerja intelektual. Dialektiaka muncul sebagai cara fikir
terbaru dari filsuf-filsuf besar dalam Revolusi Demokratik di Eropa Barat pada
abad ke-16 dan abad ke-17. Hegel, seorang tokoh dari sekolah filsafat idealis
(borjuis) di Jerman, adalah seorang guru besar yang pertama kali
mentransformasikan ilmu logika, seperti di sebutkan oleh Marx: “bentuk-bentuk
umum gerakan dialektika yang memiliki cara yang komprehensif dan sadar
sepenuhnya.”
Marx dan Engels adalah murid Hegel di lapangan Logika.
Dalam ilmu logika, mereka berdua lah yang kemudian melakukan revolusi pada
revolusi Hegelian—dengan menyingkirkan elemen mistik dalam dialektikanya, dan
menggantikan dialektika idealistik dengan sebuah landasan material yang
konsisten.
Pada
saat kita mendekati dialektika materialis dengan menggunakan logika formal,
kita harus memundurkan langkah kita pada sejarah aktual kemajuan ilmu logika,
yakni perkembangan dari logika formal menuju ke logika dialektik.
Adalah salah jika kita mengira bahwa sejarah
perkembangan cara berfikir adalah seperti ini: bahwa para filsuf Yunani tidak
mengetahui soal dialektika; atau mengira Hegel dan Marx menolak sepenuhnya
logika formal. Seperti yang dituliskan oleh Engels: “filsuf yunani kuno sudah
dialektik sejak kemunculannya dan Aristoteles, sebagai intelektual yang paling
ensiklopedis di antara mereka, bahkan sudah menganalisa bentuk-bentuik paling
esensial pemikiran dialektik.” Tak ketinggalan pula, dialektika muncul dalam
bentuk cikal bakalnya dalam pemikiran filsuf Yunani. Namun filsuf Yunani belum
dan tidak dapat mengembangkan serpihan-serpihan pemikiran dialektik dalam
sebuah sistimatika berfikir yang ilmiah. Mereka menyumbangkan serpihan-serpihan
pemikiran tersebut hingga menjadi bentuk akhir logika formal Aristoteles. Pada
saat yang bersamaan, penelitian dialektika mereka, kritisisme pada cara fikir
formal dan sebaliknya—dan semua persoalan yang dihadapinya—dilakukan dengan
keterbatasan logika formal, yang diperjuangkan selama berabad-abad—yang,
kemudian, dapat diselesaikan oleh dialektika hegelian dan, kini, oleh
dialektika marxis.
Karena kedua tipe yang bertentangan tersebut memiliki
banyak kesamaan, dan logika formal masuk sebagai materi struktural dalam
kerangka logika dialektik, maka berguna sekali bagi kita menguasai logika
formal. Dalam mempelajari logika formal secara tak langsung kita sudah siap
menuju logika dialektik. Dengan mengakui, atau setidaknya sedikit mengakui,
logika formal, kita telah siap memisahkan logika formal dari logika dialektik.
Hegel menunjukkan hal yang sama: ”Dalam kedekatannya yang terbatas (antara
logika formal dan logika dialektik) terdapat suatu kotradiksi yang bisa
menyumbangkan sesuatu ke belakang dirinya (logika dialektik).”
Akhirnya, lewat prosedur tersebut, kita mendapatkan
pelajaran berharga dalam pemikiran dialektik. Hegel menjelaskan lagi: “Sesuatu
tidak bisa dikenali secara menyeluruh sebelum mengenali lawannya.” Contohnya,
kau tidak dapat benar-benar mengerti tentang seorang buruh-upahan sampai kau
mengetahui bagaimana sebaliknya lawan sosial ekonominya, kelas kapitalis. Kau
tidak dapat mengetahui Trotskyisme sampai kau mempelajari secara mendalam
esensi antitesis politiknya, yakni Stalinisme. Jadi kau tak akan bisa
mempelajari kedalaman dialektika tanpa pertama kali mempelajari secara mendalam
sejarah pendahulunya dan antitesis teoritisnya, yakni logika formal.
3. Tiga Hukum Dasar Logika Formal
Rumusan khusus hukum
tersebut tak terlalu penting. Pemikiran esensial dalam hukum tersebut adalah
seperti berikut. Dengan mengatakan bahwa sesuatu itu sama dengan dirinya, maka
dalam segala kondisi tertentu sesuatu itu tetap sama dan tak berubah.
Keberadaannya absolut. Seperti yang dikatakan oleh akhli fisika: ” materi tidak
dapat di buat dan dihancurkan.” Materi selalu tetap sebagai materi.
Jika
sesuatu adalah selalu dan dalam semua kondisi sama atau identik dengan dirinya,
maka ia tidak dapat tidak sama atau berbeda dari dirinya. Kesimpulan tersebut
secara logis patuh pada hukum identitas: Jika A selalu sama dengan A, maka ia
tidak pernah sama dengan bukan A (Non-A).
Kesimpulan tersebut dibuat secara eksplisit dalam
hukum kedua logika formal: hukum kontradiksi. Hukum kontradiksi
menyatakan bahwa A adalah bukan Non-A. Itu tidak lebih dari sebuah rumusan
negatif dari pernyataan posistif, yang dituntun oleh hukum pertama logika
formal. Jika A adalah A, maka menurut pemikiran formal, A tidak dapat menjadi
Non-A. Jadi hukum kedua dari logika formal, yakni hukum kontradiksi,
membentuk tambahan esensial pada hukum pertama. Beberapa contoh: manusia tidak
dapat menjadi bukan manusia; demokrasi tidak dapat menjadi tidak demokratik;
buruh-upahan tidak dapat menjadi bukan buruh-upahan.
Hukum kontradiksi menunjukkan pemisahan perbedaan
antara esensi materi dengan fikiran. Jika A selalu sama dengan dirinya maka ia
tidak mungkin berbeda dengan dirinya. Perbedaan dan persamaan menurut dua hukum
di atas adalah benar-benar berbeda, sepenuhnya tak berhubungan, dan menunjukkan
saling berbedanya antara karakter benda (things)
dengan karakter fikiran (thought)
Kwalitas
yang saling berbeda dan terpisah dari setiap benda ditunjukkan dalam hukum yang ketiga logika formal. Yakni: hukum tiada jalan tengah. (the law of excluded middle).
Menurut hukum tersebut segala sesuatu hanya memiliki salah satu karakteristik
tertentu. Jika A sama dengan A, maka ia tidak dapat sama dengan Non-A. A tidak
dapat menjadi bagian dari dua kelas yang bertentangan pada waktu yang
bersamaan. Dimana pun dua hal yang berlawanan tersebut akan saling
bertentangan, keduanya tidak dapat dikatakan benar atau salah. A adalah bukan
B; dan B adalah bukan A. Kebenaran dari sebuah pernyataan selalu menunjukkan
kesalahan (berdasarkan lawan pertentangannya) dan sebaliknya.
Hukum
yang ketiga tersebut adalah sebuah kombinasi dari dua hukum pertama dan
berkembang secara logis.
Ketiga hukum tersebut mencakup sebagian dasar-dasar
logika formal. Alasan-alasan formal berjalan menurut proposisinya. Selama 2.000
tahun aksioma-aksioma yang jelas dalam sistim berfikir Aristoteles telah
menguasai cara berfikir manusia, layaknya hukum pertukaran dari nilai yang
sama, yang telah membentuk fondasi bagi produksi komoditi masyarakat.
Lihatlah
contoh dariku tentang sistim berfikir Aristoteles, sebagai berikut: dalam
bukunya yang berjudul Posterior Analytics
( Buku I; Bagian 33), Aristoteles mengatakan bahwa seseorang tidak dapat secara
terus menerus memahami bahwa manusia pada dasarnya adalah hewan, dengan
demikian bisa juga dikatakan bahwa manusia adalah bukan hewan. Dengan demikian,
manusia pada dasarnya adalah seorang manusia dan tidak dapat dianggap bukan
manusia.
Hal tersebut seperti yang diungkapkan dalam hukum
logika formal. Kita mengetahui bahwa hal itu berlawanan dengan kenyataan. Teori
perkembangan alam mengajarkan bahwa tidak bisa lain—manusia pada dasarnya
adalah binatang. Secara logika manusia adalah binatang. Tapi kita ketahui juga
dari teori evolusi sosial, bahwa manusia adalah kelanjutan dari perkembangan
evolusi binatang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara esensial ia
adalah manusia, yang spesiesnya cukup berbeda dengan binatang lainnya. Kita
mengetahui bahwa hal tersebut merupakan dua hal: yang satu dengan yang lainnya
berbeda pada saat yang bersamaan. Aristoteles dan hukum logika formal tidak
dapat berlaku lagi.
4. Isi Material dan Realitas Obyektif Hukum-hukum Tersebut
Kita bisa melihat dari contoh tersebut betapa cepat
dan spontannya karakter dialektik suatu materi, oleh karena itu, dengan segera,
muncul lah pemikiran yang merupakan cermin kritis terhadap pikiran formal.
Walaupun ada suatu intensitas yang mengetatkan logika formal, namun tetap saja
kita akan tergiring dan terdorong untuk melangkah lebih ke depan, melewati
batas logika formal, pada saat kita hendak mencari kebenaran sesuatu hal. Dan
sekarang kita kembali kepada logika formal
Seperti yang aku katakan sebelumnnya, dialektika
modern tidak menolak kebenaran yang dikandung oleh hukum-hukum logika formal.
Sikap penolakan terhadap logika formal akan berlawanan dengan semangat
dialektika, yang melihat beberapa kebenaran dalam kenyataan logika formal itu
sendiri. Pada saat bersamaan, dialektika membuat kita bisa melihat batas-batas
dan kesalahan dalam memformalkan pandangan tentang sesuatu.
Hukum-hukum logika formal berisikan unsur-unsur
kebenaran yang sangat penting dan tak bisa ditolak. Semua hukum tersebut bukan
lah merupakan jeneralisasi pikiran-pikiran yang random dan hasil khayalan yang
tak berarti. Hukum-hukum tersebut keluar lewat sebuh proses dunia nyata yang,
selama ribuan tahun, oleh Aristoteles dan para pengikutnya, digunakan oleh
peradaban manusia. Jutaan orang yang belum pernah mendengar tentang Aristoteles
dan pikiran-pikirannya, sampai sekarang, berpikir untuk mengabaikan hukum-hukum
awal yang pertama kali dirumuskannya. Mereka, yang seperti itu, tak akan bisa
sampai mengerti tentang hukum-hukum gerak Newton —walaupun
mereka dapat melihat kerangka fisik setiap hasil pemikiran Newton , namun mereka gagal memahami teori
Hukum Newton tersebut secara lengkap. Dalam dunia obyektif, mengapa orang
berfikir dan melakukan pensejajaran antara hukum-hukum Newton dengan hukum-hukum Aristoteles.
Karena, kenyatannya, hukum berpikir Aristotles memiliki isi yang material, sama
halnya juga dalam dunia objektif, sama halnya juga dalam hukum gerak mekanika Newton . “…metode berpikir
kita, apakah itu logika formal atau logika dialektik, bukan lah sebuah susunan
serampangan akal sehat kita tapi lebih sebagai sebuah ekspresi
interelasi-aktual dalam alam kita sendiri.”[1]
Karakter macam apa yang ada dalam realitas material
yang hendak dicerminkan, dan secara konseptual dihasilkan kembali, oleh
hukum-hukum berfikir formal?
Hukum identitas bertujuan merumuskan fakta material
agar bisa mendefinisikan segala sesuatu dan memperlakukan segala hal dalam
semua perubahan fenomenanya. Dimana pun kelanjutan (perubahan) esensial hadir
dalam realitas, hukum identitas tetap bisa mendeteksinya.
Kita tak bisa berbuat atau berfikir secara sadar bila
menolak hukum tersebut. Jika kita tidak bisa lagi mengenali diri kita sendiri
karena amnesia atau karena sesuatu hal—karena kerusakan mental, misalnya—hingga
menghilangkan kesadaran identitas pribadi kita, maka diri kita akan hilang.
Tapi hukum identitas hanya lah absyah untuk melihat dunia secara universal
ketimbang untuk melihat kesadaran manusia itu sendiri. Hukum tersebut muncul
setiap hari dan dimana saja dalam kehidupan sosial. Jika kita tidak bisa
mengenali bagian mental yang sama, lewat beberapa tindakan, maka kita tidak
akan bisa melakukan produksi. Jika seorang petani tidak bisa mengerti
perkembangan jagung yang ia tanam dari biji sampai menghasilkan jagung lagi,
dan kemudian menjadi bahan makanan, maka tidak mungkin ada pertanian.
Anak-anak yang telah mengerti lebih jauh, bisa
memahami alam dunianya saat pertama kali ia menemukan fakta bahwa ibu yang
menyusuinya adalah orang yang sama yang, dengan berbagai cara, memberinya
makan. Pengenalan kebenaran dengan cara seperti itu tak lain merupakan sebuah
contoh khusus tentang pengenalan terhadap hukum identitas.
Jika kita tidak jernih melihat proses perkembangan dan
perubahan-perubahan menuju negara kelas pekerja, maka kita tentu saja akan
dengan mudah terjebak dalam kekacauan pemahaman saat berupaya untuk mengerti
tentang perjungan kelas yang ada sekarang. Dalam kenyataannya, oposisi borjuis
kecil menjawab dengan cara yang salah ketika merespon persoalan yang terjadi di
Rusia, tidak hanya karena mereka menolak metode dialektik, tapi juga karena mereka
tak bisa mengaplikasikan hukum identitas secara tepat. Dalam proses
perkembangan Soviet Rusia, mereka tak bisa melihat—lepaskan dari Uni Sovyet
yang di bangun selanjutnya oleh rejim Stalin—bahwa Uni Soviet bisa
mempertahankan landasan–landasan sosial ekonomi negara kelas pekerja, yang
didirikan oleh kelas buruh dan petani Rusia setelah revolusi oktober.
Kelasifikasi secara benar, yang lepas dari perbandingan yang berbasiskan suka
tidak suka, merupakan suatu basis yang sangat penting dan sebagai langkah awal
dalam investigasi ilmiah. Kelasifikasi sangat penting untuk memilah penambahan
terhadap kelas yang sama dan pengurangan terhadap kelas yang berbeda serta
untuk menyatukan kelas-kelas yang berbeda—semua itu tak mungkin dilakukan tanpa
menggunakan hukum identitas. Teori Darwin tentang revolusi pengorganisasian
manusia berasal dan tergantung dari pengenalan terhadap identitas esensial
berbagai makhluk yang berbeda di atas bumi ini. Hukum gerak mekanik Newton dapat disimpulkan berasal dari gerak massa , dari logika batu
jatuh hingga planet-planet yang berputar dalam sistim matahari. Semua
ilmu-pengetahuan lahir dan merupakan bagian dari hukum identitas.
Hukum identititas mengarahkan hingga bisa mengenali
keragaman, perubahan permanen, kesamaan, pemisahan dan penampakan yang berbeda,
guna mencakup keseluruhan semua itu, serta guna mendapatkan penghubung antar
fase-fase berbeda dari fenomena tertentu. Oleh sebab itu, penemuan dan
penggunaan hukum tersebut disimpulkan telah membuat sejarah dalam pemikiran
ilmiah dan, oleh karenanya, kita memberikan penghargaan pada Aristoteles untuk
semua yang telah dirumuskannya. Oleh karena itu pula, manusia berbuat dan
berpikir sesuai dengan hukum dasar logika fiormal tersebut.
Mungkin
akan muncul pertanyaan: “bagaimana hukum tersebut berlaku secara gampangannya?
Jawabnya: fakta bahwa sesuatu adalah sesuatu.
Amat lah penting kehadiran hukum dasar tersebut dalam
sejarah. Merupakan sebuah kemajuan yang besar sekali dalam sistim pengetahunan
tentang dunia ketika manusia menemukan bahwa awan, uap, hujan dan es semuanya
berasal dari air. Atau bawah surga dan bumi adalah dua hal yang bertentangan
namun juga sama (surga di bumi). Ilmu Biologi mengalami revolusi dengan
penemuan bahwa kehidupan organisme bersel satu dan manusia terdiri dari
substansi yang sama. Ilmu fisika mengalami revolusi dengan bisa ditunjukkannya
bahwa semua bentuk gerak material dapat saling bertukar dan secara esensial
sama.
Tidak
kah merupakan sebuah langkah yang menakjubkan dalam pengetahuan sosial dan
politik ketika kelas pekerja menemukan pengetahuan, di satu sisi, bahwa upah
kerja adalah upah kerja dan, di sisi lain, kapitalis adalah kapitalis.
Pengetahuan bahwa buruh di mana saja memiliki kepentingan yang sama, menembus
batas wilayah, nasional dan ras. Sehingga pengakuan terhadap kebenaran yang
berasal dari hukum identitas adalah sebuah syarat untuk menjadi seorang
sosialis yang revolusioner.
Satu hal, bagaimanapun kita memperhatikan dan
menggunakan suatu hukum, adalah merupakan hal yang berbeda dengan mengerti dan
memformulasikannya dalam sebuah cara yang ilmiah. Semua orang dapat bertindak
sesuai dengan hukum namun sulit untuk mengetahui bagaimana hukum tersebut
beroperasi. Sama dengan hukum logika itu sendiri. Setiap orang berpikir tapi
tak seorang pun tahu hukum yang mana yang sedang berlangsung dalam
pemikirannya.
Hukum kontradiksi merumuskan fakta-fakta material yang
hadir secara bersamaan dengan yang lainnya, dan bisa dalam keadaan-keadaan yang
berbeda-beda. Secara nyata aku tidak sama dengan anda—jelas kita berbeda. Atau
aku hari ini berbeda dangan aku kemarin—jelas keberadaanku berbeda. Atau Uni
Soviet berbeda dengan negeri lainnya, dan perkembangan Uni Soviet membedakan
Uni Sovyet dahulu dengan Uni Sovyet sekarang—jelas perbedaan-perbedaannya.
Hukum formal kontradiksi, atau penajaman
perbedaan-perbedaan adalah penting untuk memperoleh kelasifikasi yang tepat
sesuai dengan hukum identitas. Tanpa keberadaan perbedaan-perbedaan tersebut,
tak perlu ada kelasifikasi, tanpa identitas maka tak mungkin melakukan
kelasifikasi.
Hukum
tak ada jalan tengah (excluded middle)
menunjukkan bahwa semua hal saling bertentangan dan saling mengisi dalam
kenyataannya. Aku pasti lah aku atau orang lain; hari ini aku seharusnya sama
atau berbeda dengan kemarin; Uni Soviet seharusnya sama atau berbeda dengan
negeri lain; aku pasti lah manusia atau binatang; aku tidak dapat secara
bersamaan merupakan dua identitas yang berbeda.
Oleh karenanya, hukum logika formal mengekspresikan
masa depan yang merepresentasikan dunia nyata. Hukum-hukum tersebut berisi
suatu materi dan suatu dasar objektif. Hukum-hukum tersebut secara bersamaan
merupakan hukum berfikir, hukum masyarakat dan hukum alam. Ketiga akar Hukum
tersebut memiliki karakter universal.
Ketiga hukum yang kita pelajari di atas bukan
merupakan keseluruhan logika formal. Namun merupakan hukum-hukum dasar yang
sederhana. Di atas dasar itu lah, dan di luar darinya lah, muncul sejumlah
struktur ilmu logika yang kompleks, yang memiliki kerumitan rincian-rincian
setiap elemennya, dan yang di dalamnya memiliki bentuk mekanisme berpikir. Tapi
kita tak akan masuk ke diskusi tentang berbagai kategori, bentuk proposisi,
sikap-sikap, silogisme dan yang lainnya, yang membentuk isi tubuh logika
formal. Hal tersebut bisa dicari di buku tentang logika elementer lainnya.
Secara prinsipil kita lebih peduli pada pemahaman ide-ide esensial logika
formal, tapi bukan pada detail perkembangannya.
5. Logika Formal dan Akal Sehat
Dalam
lingkaran intelektual borjuis, akal sehat dijadikan satu pola dan cara berfikir
serta menjadi penuntun tindakan. Hanya ilmu-pengetahuan yang dilandasi akal
sehat lah yang bisa berada pada hirarki nilai yang tinggi. Atas nama akal sehat
dan ilmu-pengetahuan, misalnya, Max Eastman menuduh Marxis sebagai penjunjung dialektika
metafisik dan mistik. Sialnya, ideolog-ideolog borjuis dan borjuis kecil jarang
menginformasikan pada kita apa sisi logis akal sehat mereka dan bagaimana
hubungan antara akal sehat dengan ilmu-pengetahuan? Kita akan menjawab mereka!
Kenyataannya, mereka yang anti dialektika sebenarnya tidak hanya tidak tahu apa
dialektika itu. Mereka bahkan tak tahu apa logika formal itu. Hal itu tidak
mengejutkan. Apa kah kelas kapitalis tahu apa itu kapitalisme, bagaimana
hukum-hukumnya beroperasi? Jika mereka tahu, mereka akan sadar akan krisis dan
perang yang mereka buat, dan tak akan seyakin sekarang dengan sistim yang
mereka nikmati itu. Stalinis tak tahu apa sebetulnya stalinisme itu dan akan ke
mana arah sistim tersebut. Jika mereka tahu mereka tidak akan lagi menjadi
Stalinis, atau mereka akan menjadi sesuatu yang lain.
Sejauh
ini, akal sehat masih secara sistimatis tersusun dan memiliki karakter logis,
serta akal sehat menyatu dengan logika formal. Akal sehat bisa diurai menjadi
bentuk yang tidak sistimatis dan setengah sadar dalam hubungannya dengan
ilmu-pengetahuan logika formal. Ide-ide dan metode logika formal yang digunakan
sekarang, sebenarnya, telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu, memiliki
saling hubungan dengan proses berfikir kita, masuk dalam pabrik peradaban kita,
dan nampak bagi kebanyakan orang sebagai sesuatu yang normal, ekslusif, serta
bercorak pikir wajar. Konsepsi dan mekanisme logika formal, seperti silogisme,
merupakan alat berfikir yang seakrab dan seuniversal layaknya pisau tajam.
Seperti
kita ketahui, borjuis percaya bahwa masyarakat kapitalis akan abadi karena,
menurut mereka, merupakan hal yang ilmiah dan tak dapat diubah. Sosialisme,
kata mereka, adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal sehat karena manusia
akan selalu terbagi ke dalam dua kelas yang saling bertentangan. yakni yang
kaya dan yang miskin, yang kuat dan yang lemah, pemerintah dan yang diperintah,
yang bermilik dan yang tak bermilik, dan setiap kelas akan berjuang sampai mati
demi hidup yang lebih baik. Sebuah bentuk organisasi sosial yang tanpa kelas,
yang terencana sehingga tidak anarki, yang melindungi si lemah melawan si kuat,
terlihat absur, tak masuk akal, bagi mereka. Mereka melihat ide sosialis
sebagai fantasi, harapan-harapan kosong.
Sampai
kita tahu sosialisme bukan lah sebuah mimpi tapi sebuah keniscayaan sejarah.
Sebagai sebuah tahapan evolusi sosial selanjutnya. Kita tahu kapitalisme tidak
lah abadi tapi suatu bentuk sejarah tertentu cerminan produksi material, yang
terbentuk karena perkembangan produksi sosial, dan takdirnya: akan digantikan
oleh bentuk yang lebih superior, produksi sosialis.
Mari
kita lihat ilmu berpikir dari satu titik yang sama, yakni dengan melihat pada
ilmu sosial. Pemikir-pemikir Borjuis dan borjuis kecil percaya bahwa pemikiran
formal adalah bentuk akhir yang sudah final dan pas. Mereka menolak dilalektika
materialis sebagai bentuk tertinggi pemikiran.
Kau
ingat, ketika seseorang bertanya tentang kapitalisme permanen atau
berargumentasi tentang pentingnya sosialisme, kau akan jatuh dalam keraguan
pada ide-ide revolusioner yang baru. Kenapa? Karena dirimu telah diperbudak
oleh ide penguasa zaman kita yang, seperti di katakan Marx, sebagai ide-ide
kelas penguasa. Ide-ide kelas penguasa dalam ilmu logika sekarang ini adalah
ide-ide logika formal yang lebih rendah, lebih hina, dari akal sehat. Semua
bagian dan kritik dialektika sebenarnya berdiri di atas landasan logika
formal—terserah mereka mau mengakuinya atau tidak.
Tak
diragukan lagi, dalam masyarakat kita, ide-ide logika formal berisikan semua
praduga teoritis yang paling kepala batu. Meski telah beberapa orang
menanggalkan keyakinannya terhadap kapitalisme, dan telah menjadi sosialis yang
revolusioner, bisa saja mereka belum secara keseluruhan bisa melepas kebiasaan
logika formal mereka yang diperoleh dari kehidupan borjuis sebelumnya.
Kesungguhan seorang akhli dialektika bisa mengalami kemunduran jika mereka tak
berhati-hati dan sadar dalam cara berfikirnya.
Marxisme,
selain menolak keabadian kapitalisme, ia juga menolak keabadian kelas
kapitalis. Pemikiran manusia telah berubah dan berkembang sepanjang
perkembangan umat manusia. Hukum berpikir tidak lah lebih abadi daripada hukum
yang ada di masyarakat. Sama halnya dengan kapitalisme, yang hanya sekadar
sebuah mata-rantai bentuk sejarah produksi sosial, demikian halnya dengan
logika formal, yang hanya sekadar sebuah mata-rantai bentuk sejarah produksi
intelektual. Seperti halnya kekuatan sosialisme, yang sedang berjuang untuk
menggantikan bentuk produksi sosial kapitalisme dengan sebuah sistem yang lebih
berkembang dan maju, demikian pula halnya pembela dialektika materialis,
sebagai sebuah logika sosialisme ilmiah, sedang berjuang melawan logika formal
yang telah ketinggalan zaman. Perjuangan teoritis dan praktek politik praktis
merupakan bagian yang integral satu dengan yang lainnya, dan sama-sama berada
dalam proses revolusioner.
Sebelum
kemunculan astronomi modern, orang-orang percaya bahwa matahari dan planet
lainnya mengitari bumi. Mereka secara tidak kritis percaya pada pembuktian akal
sehat yang ditangkap oleh mata. Aristoteles mengajarkan bahwa bumi telah pas
dan sempurna. Tahun ini adalah peringatan 400 tahun penerbitan buku Copernicus.
Sebuah revolusi pemikiran tentang tata surya, yang menumbangkan pemikiran bahwa
bumi adalah pusat kekuasaan.
Seabad
kemudian Galileo membuktikan kebenaran teori Copernicus. Semua profesor yang
bertentangan dengan Copernicus mencemohkannya, seperti yang dikeluhkan Galileo:
”Aku berharap bisa menunjukkan bahwa planet Yupiter, yang menjadi satelit bagi
para profesor di Florence ,
bisa mereka lihat lewat mata mereka sendiri atau dengan teleskop.” Para profesor tersebut, atas nama teori Aristoteles,
menyerukan perlawanan terhadap usaha Galileo tersebut, dan akhirnya menggunakan
kekuasaan untuk memenjarakan Galileo. Pelayan-pelayan negara dan gereja
tersebut berhasil menekan argumen Galileo, melarang pengedaran bukunya,
menteror dan bahkan membunuh lawan-lawan ilmuwan lainnya karena ide-ide mereka
sangat revolusioner. Mereka membudak pada dominasi kelas penguasa.
Sama
halnya dengan dialektika, khususnya dialaektik materialis, ide dan metode nya
bahkan lebih revolusioner ketimbang ide Copernicus tentang Astronomi. Pertama
pemutarbalikan sorga yang selama ini diagungkan oleh abad tengah, kemudian
penajaman terhadap kelas progresif dalam masyarakat yang akan memutarbalikan
masyarakat kapitalis. Itu lah sebabnya ide-ide dialektika materialis sangat
ditentang oleh para pembela logika formal dan akal sehat. Besok, dengan
revolusi sosialis, dialektika akan menjadi akal sehat dan logika formal akan
mengambil posisi sub-ordiansi, hanya dianggap sebagai penolong dalam cara
berfikir ketimbang seperti yang berlaku sekarang ini—mendominasi pemikiran,
menyesatkan fikiran dan menghambat semua kemajuan berfikir yang menjadi
tuntutan zaman.
*
Bahan
II: Keterbatasan Logika Formal
Pada
bahan pelajaran pertama kita telah menjawab tiga pertanyaan.
1.
Apa itu logika? Kita mendifininisikan logika sebagai sebuah ilmu proses
berpikir dalam hubungannya dengan semua proses yang lain di dunia ini. Kita
telah belajar mengetahui dua sistim penting dalam logika: logika formal dan
logika dialektik.
2.
Apa itu logika formal? Kita telah belajar memahami bahwa logika formal adalah
cara berpikir yang didominasi oleh hukum identitas, hukum kontradiksi dan kukum
tak ada jalan tengah (excluded middle).
Kita telah paham bahwa ketiga hukum fundamental logika formal tersebut memiliki
isi materi dan basis objektif; yang dirumuskan secara eksplisit berdasarkan
logika instinktif yang ada pada akal sehat; yang bersisikan aturan-aturan
berfikir dalam kehidupan borjuis.
3.
Apa hubungan antara logika formal dan logika dialektik? kedua sistim berfikir
tersebut tumbuh dan berhubungan di dua tahap yang berbeda dalam perkembangan
ilmu-pengetahuan berfikir. Logika formal berkembang secara dialektik dalam
evolusi sejarah logika, seperti yang biasa terjadi dalam perkembangan
intelektual seseorang. Kemudian logika dialektik muncul sebagai kritik terhadap
logika formal, menjatuhkan dan menggantikannya. Logika dialektik menjadi lawan
yang revolusioner, mengambil alih dan menjadi solusi.
Dalam
pelajaran kedua ini, kita berharap bisa mengungkap keterbatasan logika formal,
dan mendapatkan bagaimana dialektika bangkit karena ujian kritis terhadap
ide-ide fundamentalnya. Saat ini kita telah memahami apa yang menjadi dasar
logika formal, dan apa yang dicerminkannya dari realita, mengapa menjadi
penting dan bermanfaat bagi proses berfikir, dan sekarang kita akan melangkah
lebih jauh lagi untuk melihat apa yang menjadi distorsi dalam logika formal
serta apa yang harus ditolak dari logika formal. Kita akan melihat sisi yang
tak bermanfaat dari logika formal.
Dalam
langkah selanjutnya dari investigasi kita, kita tak akan mendapatkan hasil
negatif yang bisa dijadikan alasan keraguan kita sehingga harus menolak seluruh
bagian dari logika formal. Sebaliknya, justru kita akan mendapatkan hasil yang
paling positif. Walaupun terdapat beberapa kekurangan dalam logika formal,
namun terdapat juga beberapa karakter penting yang bisa diambil dari logika
formal yang bisa menyempurnakan logika penggantinya, logika dialektik. Sehingga
dalam proses pembelahan logika elementer dan pemisahan unsur yang absyah dari
yang salah, kita bisa mendapatkan sebuah landasan bagi dialektika. Tindakan
kritis dan kreatif, negasi dan affirmasi, saling bergandengan sebagai dua sisi
dari proses yang sama.
Kedua
gerak penghancuran dan pembentukan dilahirkan tidak saja dalam evolusi logika
tapi juga dalam semua proses. Setiap lompatan ke depan, setiap tindakan kreatif
melibatkan penghancuran. Agar dapat lahir, seekor anak ayam harus memecahkan
kulit telor yang membungkusnya, yang telah menjadi tempat tinggal dan sumber
kehidupan pada tahap tertentu. Sehingga, agar mendapatkan ruang bagi
kebebasannya dan melanjutkan perkembangan selanjutnya, ilmu berpikir harus
menghancurkan kulit pembungkus logika formal.
Logika
formal selalu mulai dengan preposisi: A adalah selalu sama dengan A. Kita
mengakui bahwa hukum tentang identitas ini mengadung beberapa kebenaran, yang
merupakan sebuah fungsi yang tidak bisa dipisahkan dalam pengetahuan berfikir,
dan yang selanjutnya digunakan dalam peradaban mansuia di dalam kegiatan
sehari-harinya. Tapi sejauh mana kebenaran hukum tersebut? Apakah hukum
tersebut bisa terus menjadi penuntun dalam realitas yang menjadi lebih
kompleks? Demikian lah, pertanyaan selanjutnya.
Pembuktian
salah benarnya setiap preposisi diperoleh dengan melihat realitas objektif dan
praktek nyatanya, derajatnya dan isi konkrit yang terkandung dalam preposisi
tersebut. Apa kah isinya berhubungan dengan sebuah output yang bisa dihasilkan oleh realitas, sehingga preposisi itu
menjadi benar. Jika tidak, maka preposisi tersebut tidak bisa dibenarkan.
Sekarang
apa yang bisa kita dapat saat harus berhadapan dengan realitas, bukti apa yang
bisa membenarkan kebenaran preposisi: A sama denan A? Ternyata, tak ada sesuatu
pun dalam realita yang secara sempurna sama dengan isi preposisi tersebut.
Sebaliknya, kebalikan dari aksioma tersebut jauh lebih mendekati pada kebenaran.
Bagaimanapun
kita berusaha membuktikan bahwa A sama daengan A—ternyata, kita tidak bisa
berhasil secara sempurna. Seperti kata Trotsky: “...meneliti dua huruf tersebut
di bawah sebuah lensa pembesar—satu dengan yang lainnya sama sekali berbeda.
Namun, orang bisa saja berkeberatan, karena hal-hal lain (misalnya) semata-mata
merupakan simbol bagi kuantitas-kuantitas yang sederajat, contohnya, satu pon
gula, masalahnya bukan ukuran atau bentuk dari huruf-huruf tersebut.”
“Di
samping kecurigaan ekstrim pada nilai praktis. Hal tersebut juga menunjukan
ketidakkritisan teoritis. Bagaimana dengan momentum? Hal yang pertama tentu
berbeda momentumnya dengan hal yang kedua karena segalanya ada dalam kurun
waktu tertentu. Waktu adalah sebuah unsur yang paling fundamental bagi
keberadaan. Sehingga aksioma A sama dengan A akan berlaku jika tidak ada
perubahan, jika tidak, maka aksioma tersebut tidak akan berlaku”[2]
Itu
lah sebabnya beberapa pembela logika formal mencoba membela diri dengan
berkata: memang benar hukum identitas tidak bisa absolut, tapi itu tidak
berarti kita dapat menolak prinsip tersebut. Kebenaran tersebut adalah absyah
walaupun tidak berhubungan dengan realitas. Posisi mereka tidak bisa memahami
kontradiksi; justru, dengan demikian, semakin menunjukkan bahwa, dalam
pandangan mereka, hukum identitas tersebut hanya berlaku sejauh tidak
berhubungan dengan realitas, dan jika berhubungan dengan realitas maka hukum
tersebut justru akan mendatangkan kesalahan-kesalahan tertentu.
Seperti
yang di kemukakan oleh Trotsky: “Aksioma A sama dengan A menunjukkan suatu
titik keberangkatan menuju ke keseluruhan kebenaran pengetahuan kita namun, di
sisi yang lain, juga merupakan titik keberangkatan menuju ke keseluruhan
kesalahan pengetahuan kita.”[3] Bagaimana mungkin sesuatu
hal, yang ada dalam hukum yang sama, menjadi sumber bagi kedua
pengetahuan—pengetahuan yang salah dan pengetahuan yang benar? Kontradiksi
tersebut dapat dijelaskan oleh fakta bahwa hukum identitas memiliki dua sisi
karakter: kesalahan dan kebenaran. Hukum identitas memiliki kebenaran pada
batas-batas tertentu. Batasan tersebut dikarenakan karakter esensialnya, yang
ditunjukkan oleh perkembangan aktual obyek pertanyaannya. Di sisi lain, dilihat
dari tujuan praktis cara pandang tertentu.
Sekali
waktu, batasan-batasan tersebut muncul, sehingga hukum identitas tidak lagi
tepat dan berbelok menjadi kesalahan. Semakin jauh kita maju tanpa pegangan
batasan tersebut, semakin jauh pula hukum identitas tersebut menyeret kita
membelok dari kebenaran. Hukum yang lain mungkin akan mengoreksi kesalahan yang
semakin banyak tersebut, namun tidak terlepas juga kemungkinannya akan masuk ke
persoalan yang lebih kompleks dan yang lebih baru lagi.
Mari
kita lihat contohnya. Dari Albany ke New York
hanya disusuri oleh sungai Hudson ,
tak ada yang lainnya. A selalu sama dengan A. Dengan keterbatasan tersebut akan
sulit untuk memastikan bahwa sungai Hudson
tersebut merupakan satu-satunya sumber air yang ada, dan sama dari hilir sampai
muara, sungai Hudson .
Setelah sampai di muara pelabuhan New York ,
ternyata sungai Hudson
telah kehilangan identitasnya dan menyatu dengan Samudra Atlantik. Sedangkan
air Sungai Hudson, terpecah menjadi beberapa anak-anak sungai yang lain yang,
walaupun berasal dari mata air yang sama, tapi memiliki identitas yang
berbeda-beda dan materi yang berbeda pula, jauh berbeda dengan sungai Hudson itu sendiri.
Sehingga di kedua tempat tersebut—sumber mata air dan muaranya—identitas Sungai
Hudson
menghilang, tak lagi seutuhnya sama.
Demikian
pula halnya dengan kemungkinan hilangnya identitas di sepanjang sungai Hudson tersebut.
Identitas sungai tersebut tergantung pada kedua sisi parit yang menahan aliran
airnya. Namun, jika sungai tersebut pasang atau surut, atau jika terjadi erosi,
maka parit tersebut akan berubah. Hujan dan banjir akan merubah batasan-batasan
sepanjang sungai itu secara permanen atau sementara. Walaupun sungai tersebut
tetap bernama Hudson ,
namun isinya tak akan pernah berupa air yang sama. Setiap tetesnya sudah
berbeda. Oleh karenanya, sungai Hudson
tersebut terus berubah identitasnya setiap saat.
Atau
coba kita lihat contoh Dolar yang di kemukakan Trotsky. Kita biasanya
mengasumsikan bahwa mata uang Dolar adalah mata uang Dolar itu sendiri. A sama
dengan A. Tapi kita mulai sadar sekarang bahwa Dolar sekarang berbeda nilainya
dengan dolar pada waktu yang lampau. Dolar tersebut semakin berkurang nilainya.
Pada tahun 1942 kemampuan dolar hanya tiga perempat kemampuan pada tahun 1929.
Sepertinya,
dolar tidak berubah dan hukum identitas masih bisa di gunakan, tapi, pada saat
yang sama, nilainya juga sudah berubah.
“Pemikiran
ilmiah kita hanya lah salah satu bagian dari keseluruhan tindakan praktek kita,
termasuk teknik-teknik. Dalam konsep-kopsep, eksistensi “toleransi” juga
diperkenankan. Toleransi tersebut ditegakkan bukan dengan logika formal yang
berasal dari aksioma A adalah sama dengan A, tapi dengan logika dialektik yang
berasal dari aksioma bahwa semua hal selalu berubah. “Akal sehat”
dikarakterisasi oleh kenyataan bahwa ia secara sistematis melampaui “toleransi”
dialektik.”[4]
Dalam
bengkel kerja, toleransi diukur di setiap seperseratus sampai seperseribu
setiap incinya, tergantung hasil kerja yang hendak diperolehnya. Sama halnya
dengan kerja otak dan konsep-konsep peralatannya. Bila batas atau marjin
toleransi kesalahan sudah bisa disetujui, maka hukum logika formal dapat
berlaku. Tapi pada saat tidak diizinkan oleh toleransi, maka sebuah alat baru
harus dibuat untuk memenuhi batas toleransi yang diperbolehkan. Dalam lapangan
produksi intelektual, peralatan tersebut adalah logika dialektik.
Hukum
identitas bisa diterapkan dalam toleransi dialektik pada dua arah yang
bertentangan. Misalnya, toleransi minimum dan toleransi maximum, sehingga hukum
identitas tersebut akan berlangsung semakin absyah atau kurang absyah seperti
yang dicontohkan oleh deflasi. Satu Dolar nilainya berlipat, sehingga A tidak
sama dengan A, tapi lebih besar dari A. Dan dalam contoh inflasi maka, sekali
lagi, satu Dolar tidak sama dengan satu Dolar sebelumnya, menjadi setengahnya.
Sekali lagi A tidak sama dengn A, tapi setengah A. Dalam beberapa kasus, hukum
identitas tidak lagi menjadi benar tapi menjadi semakin salah, tergantung pada
jumlah dan karakter khusus perubahan nilai yang ada. Selain A = A, kita juga
melihat kemungkinan A = 2A atau 1/2A.
Perhatikan
bahwa kita mulai menguji hukum identitas: A adalah yang kita uji. Yang kita
dapatkan, kontradiksi: benar bahwa A = A; tapi benar juga A tidak sama dengan A
dan, tambahannya, A bisa menjadi 2A atau 1/2A.
Cara
tersebut membuat kita lebih mengenal A. A ternyata tidak sesederhana yang kita
bayangkan, pasti, tidak berubah seperti yang dianut oleh akhli logika formal.
Mereka hanya melihat penampakannya saja. Dalam kenyataanya, A sangat kompleks
dan bisa kontradiktif. Tidak hanya A tapi menyangkut semua hal. Kita tidak bisa
menangkap A yang sama karena setiap saat A tersebut berubah menjadi berkurang
atau bertambah.
Kau
mungkin bertanya: kalau begitu, sebenarnya apa itu A? Jawaban dialektiknya
adalah A adalah A atau Non-A. Jika kau melihat A seperti akhli logika formal
maka kau hanya akan melihat satu sisinya saja, sisi negatifnya. A sama dengan A
adalah sebuah abstraksi yang tidak dapat secara penuh menjadi kenyataan atau
ditemukan dalam realitas. Abstraksi tersebut berguna sepanjang kau mengerti
batasan-batasannya, dan jika batasan telah tercapai maka segera kita akan
mengabaikan logika formal tersebut untuk mendapatkan kebenaran final. Hukum
dasar identitas bisa dipegang sebagai cara pandang dan untuk bertindak
sehari-hari, tapi hukum itu harus digantikan dengan hukum yang lebih dalam dan
kompleks.
Berpikir
secara esensial merupakan produksi intelektual, dan keterbatasan peralatan
berpikir akan menghasilkan cara yang sama. Pada saat kita mentok dengan logika formal maka kita harus menggunakan logika
lainnya, yakni logika dialektik, atau mengkombinasikan logika formal dengan
logika dialektik untuk mendapatkan kebenaran. Itu lah yang disebut dialektika.
Sama seperti peralatan-peralatan di pabrik yang harus dikombinasikan agar bisa
mengoperasikan pabrik tersebut. Jadi, kalau kita menginginkan hasil yang paling
tepat dalam produkis intelektual kita, maka kita harus mengembangkan ide-ide
dialektika itu sendiri.
Jika
kita kembali pada abstraksi awal, A sama dengan A, maka kita melihat bahwa ada
sebuah kontradiksi dalam perkembangannya. A adalah berbeda dengan dirinya
sendiri. Dengan kata lain, A selalu berubah dan perubahan tersebut ke segala
arah. A selalu berkembang menjadi berlebih atau berkurang dari A sebelumnya.
Perubahan
tersebut memiliki nilai kwalitas tertentu, yang berbeda dari yang sebelumnya,
sehingga perlu juga membandingkan kwalitas awal dan kwalitas yang berikutnya
dari sesuatu hal yang terus berubah.
Sungai
Hudson yang kehilangan identitasnya, menjadi bagian dari samudara atlantik;
atau seperti yang terjadi pada mata uang. Mata uang yang semula koin yang bernama
mark Jerman telah menjadi kertas cetakan. Dalam bahasa aljabar, A menjadi Minus
A. Dalam bahasa dialektikanya perubahan kwantatif menghancurkan kwantitas yang
lama sehingga menjadi kwalitas yang baru. “Menentukan titik kritis pada saat
yang tepat, saat kwantitas berubah menjadi kwalitas, adalah merupakan suatu
tugas yang paling penting serta paling susah di dalam semua bidang pengetahuan,
termasuk sosiologi.”
Salah
satu dari problem sentral ilmu logika adalah mengetahui dan memformulasikan
hukum tersebut. Kita harus mengerti bagaimana perubahan kwantitas akan
mendatangkan kwalitas baru dan sebaliknya.
Kita
tiba pada satu kesimpulan. Pada saat hukum identitas secara tepat mencerminkan
bentuk tertentu realitas, hukum itu juga mendatangkan distorsi kesalahan dalam
mencerminkan hal yang lainnya. Lebih jauh lagi, aspek yang salah tidak bisa
mencerminkan kenyataan objektif yang ada. Campuran setiap partikel fakta
jeneralisasi logika yang mendasar bisa memiliki sisi kesalahan yang serius.
Hasilnya, instrumen kebenaran menjadi kesalahan umum.
Bahan
III: Sekali Lagi, Tentang Keterbatasan-Keterbatasan Logika Formal
Dari
kedua bahan pertama yang kita pelajari, kita mendapat hukum-hukum dasar logika
formal; bagaimana dan mengapa mereka hadir; hubungan apa yang dimiliki
dialektika terhadapnya; dan batas-batas apa yang kemudian menjadikan logika
formal tak berguna lagi.
Kita
akan melihat 5 kesalahan mendasar dalam elemen-elemen hukum identitas:
1. Tuntutan Logika Formal: Semesta Tidak Berubah
Pertama
sekali, logika formal menolak suatu gerak, perubahan dan perkembangan dalam
realitas. Penolakan tersebut tidak secara eksplisit ditujukan pada keberadaan
realitas. Tapi, secara tak langsung, yakni, hukum-hukumnya menolak implikasi
penting logika internalnya.
Seperti
yang dikemukan oleh hukum identitas, jika setiap hal sama dengan dirinya maka,
seperi yang ditunjukkan oleh hukum kontradiksi, tak ada yang tidak sama dengan
dirinya, semuanya sama. Tapi ketidaksamaannya merupakan manifestasi dari
perbedaan—dan, sebenarnya, perbedaan mengindikasikan operasional perubahan.
Jika semua perbedaan ditolak maka tidak akan ada gerak dan perubahan itu
sendiri, oleh karenanya tidak ada alasan menjadi berbeda.
Jika
logika formal ingin mendapatkan sisa kebenaran dirinya, bukan lah dengan
menolak keberadaan nyata dan rasionalitas gerak. Tak ada tempat bagi perubahan
di dunia ini yang bisa diterima oleh atau digambarkan oleh logika formal. Tak
ada gerak dalam dirinya. Tak ada ledakan logis dalam hukum-hukumnya yang dapat
melewati dan masuk ke dunia nyata. Tak ada dinamika dari dunia luar yang
mendorong segala hal keluar dari kondisinya yang sekarang guna menghasilkan
formasi baru. Gerak digambarkan atau ditunjukkan sebagai realisme statistik,
yang segalanya membeku di tempatnya masing-masing.
Mengapa
formalisme tersebut memunggungi realitas? Karena gerak memiliki karakter
kontradiksinya sendiri. Seperti kata Engels: ”…bahkan perubahan mekanis
sederhana suatu tempat bisa berlangsung dalam sebuah tubuh dan, pada saat yang
bersamaan, keduanya bisa berada di sebuah tempat lainnya, berada di suatu
tempat atau tidak berada di suatu tempat lainnya pada saat yang bersaman.”[5] Segala yang bergerak memiliki kontradiksi dalam
keberadaanya, di suatu tempat yang berbeda pada saat yang bersamaan, dan bisa
menundukkan atau keluar dari kontradiksi tersebut dengan menerjang satu tempat
guna menuju ke tempat lainnya.
Perkembangan
dan bentuk kompleks gerak, seperti perkembangan pohon dan tumbuhan,
perkembangan spesies, perkembangan masyarakat dalam sejarah dan perkembangan
sejarah filsafat, hadir bahkan lebih sulit bagi logika formal. Tahap sekarang,
yang menggantikan setiap proses adalah serial kontradiksi. Pada pertumbuhan
tanaman, contohnya, tunas keberadaannya diganti oleh bunga dan kemudian oleh
buah.
Dimana
pun mereka dikonfrontasikan dengan kontradiksi nyata, penganut logika formal
selalu akan gagal. Apa yang akan mereka lakukan? Anak kecil sewaktu berhadapan
dengan sesuatu yang asing, sesuatu yang menakutkan mereka, yang mereka tak
mengerti dan tak dapat mereka kuasai, akan menutup mata mereka dan menutup
mukanya dengan kedua tangannya, serta akhirnya melarikan diri dari ketakutan
tersebut. Penganut formalis bereaksi dan terus bereaksi, sama seperti anak-anak
berhadapan dengan kontradiksi. Ketika mereka tidak bisa secara komprehensif
melihat kenyataan alamiahnya dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan
dengan semua hal yang mengerikan—itu lah yang menyedihkan dari dunia logika
formal—maka, dengan ledakan kontradiksi, segera mereka akan menghancurkan
logika formal mereka.
Dimana
pun, saat otoritas reaksioner diancam oleh kekuatan subversif, mereka akan
menekan, memenjara dan membuang kekuatan subversif tersebut. Penganut logika
formal menjawab kontradiksi dengan cara yang demikian. Seperti yang dilakukan
oleh Sir Anthony Absolute terhadap anaknya dalam lakon komedi Sheridan : “…Jangan masuk dalam ruanganku,
jangan berani menghirup udara dan menggunakan lampu bersamaku, tapi carilah
atmosfir dan matahari lain untuk dirimu! ...”
Hukum
tersebut menunjukkan bahwa A tidak pernah menjadi Non-A. Itu bukan sebuah
ekspresi nyata dari kontradiksi yang nyata, atau, terbaca: A bukan Minus A atau
bukan Non-A.
Logika
formal tidak dapat mentoleransi kontradiksi aktual dalam sistimnya sendiri.
Logika formal akan menekan dan menghancurkan kontradiksi tersebut. Dalam
usahanya untuk membebaskan dirinya dari kontradiksi, penganut logika formal
memperketat kontradiksi absolut di atas kenyataan objektif. Dalam dunia yang
direpresentasikan oleh logika formal, segala sesuatu berdiri dalam oposisi
absolut terhadap yang lainnya. A adalah A; B adalah B; C adalah C, namun,
sebenarnya, secara logis, mereka tidak ada yang sama
Kontradiksi
dieliminasi dari sistim logika formal, kemudian bergerak naik menghindari semua
kenyataan. Penganut logika formal menolak kontradiksi dalam sistimnya sendiri
hanya demi merestorasinya, mengambil kekuasaan dari luar sistim mereka.
Kontradiksi
nyata harus memasukkan kedua hal: kesamaan dan perbedaan di dalam dirinya.
Penganut logika formal tak bisa melakukannya. Semua hukum logika formal
sebenarnya tidak lain merupakan kesamaan-kesamaan dalam berbagai versi. Merka
tak mengenal apa perbedaan-perbedaan.
Itu
lah sebabnya hukum kategori yang pas bagi logika formal tidak dapat menjelaskan
esensi gerak. Gerak adalah sangat lengkap, terang-terangan, bahkan
kontradiksinya kasar. Dalam dirinya, ia memiliki dua sisi perbedaan waktu,
unsur, fase dan lain sebagainya secara diametris. Pada saat yang bersamaan,
benda yang bergerak adalah keduanya, disini dan disana, secara terus menerus.
Jika tidak, dia tidak bergerak tapi diam. A tidak semata-mata Non-A. Diam
adalah gerak yang berhenti; gerak adalah perhentian yang berurutan.
Logika
formal tidak bisa mengetahui atau menganalisa kontradiksi alam nyata—yang di
dalamnya terdapat gerak—tanpa melanggar dirinya sendiri, tanpa menjatuhkan
hukum-hukumnya sendiri, tanpa menerjang dan masuk ke alam yang lain. Adalah
mimpi mengharapakan logika formal menjadi dialektik. Itu tepatnya dengan apa
yang terjadi pada logika dalam evolusi. Tapi, logika formal, dalam dirinya dan
oleh dirinya, tidak dapat mengambil lompatan revolusioner, tidak bisa keluar
dari kulitnya. Semua pemikir formal yang konsisten tetap bertahan pada azas
jeneralitas identitas dan terus menolak—cukup logis menurut logika mereka, tapi
tak logis menurut kenyataan-keberadaan objektif yang nyata, yakni kenyataan
perbedaan diri atau kontradiksi.
Kategori
identitas itu abstrak: hukum logika formal merupakan ekspresi langsung dari
konsepsi dan persamaan logika ke-diam-an keberadaan objek. Oleh sebab itu,
logika formal, secara esensial, merupakan logika kematian, hubungan yang
dingin, sesuatu yang diam, pengulangan abadi dan kemandegan. Sejauh kita mengganggap bahwa sesuatu itu statis dan mandeg, maka adalah benar bahwa kita
tidak bertentangan dengan kontradiksi. Kita mendapatkan kwalitas tertentu yang
sebagian merupakan hal yang bias, terpisah, bahkan saling kontradiktif, tapi,
dalam kasus ini (dalam sistim logika formal), kwalitas tersebar di antara objek
yang berbeda dan tanpa kontradiksi.[6]
Bila
melihat apa yang terjadi pada kasus lain, yang bergerak, ternyata tidak saja
saling berhubungan, dan tidak saja secara eksternal tapi juga secara internal,
sesuatu akan kehilangan identitas dan bergerak menuju sesuatu yang lain. Sungai
Hudson mengalir dan bergabung dengan samudra Atlantik; Mark jerman merosot
menjadi secarik kertas cetakan dan lainnya. Apa yang bisa dilakukan oleh
sesuatu hal dapat dilihat saat ia kehilangan identitas. Hasil internal dan
eksternal gerak benda-benda nyata terwujud secara kontradiktif. Tapi tetap ada
benarnya juga bahwa: mereka berhubungan dengan realitas.
Tidak
ada yang permanen. Kenyataan tidak pernah berhenti, selalu berubah, selalu
fluktuatif (tidak stabil/naik turun). Proses universal, yang tak terbantahkan,
membentuk landasan material bagi teori yang di ajarkan Engels ”…seluruh alam,
dari unsur yang paling kecil sampai yang paling besar, dari debu hingga
matahari, keberadaannya ada dalam keabadian, yakni menjadi dan melenyap,
menghilang, kemudian bergolak dalam gerak yang tak berhenti…”[7]
Dalam ilmu modern, tak ada jeneralisasi yang lebih aman selain berbasiskan pada
percobaan, fakta, ketimbang memahami teori perkembangan universal pikiran
manusia, yang bergerak maju dalam abad ke-19.
Hukum
logika formal, yang berada di luar kontradiksi, mengabaikan kontradiksi dalam
teori dan realitas perkembangan universal. Hukum identitas itu abstrak, tak
melahirkan perubahan. Sebenarnya, dari dua preposisi yang bertentangan
tersebut, yang mana yang benar dan yang salah? Itu lah pertanyaan dari penganut
dialektika—yang melandasi pikirannya berdasarkan proses alamiah—kepada penganut
logika formal yang berkepala batu. Persoalan pikiran ilmiah, yang sedang
berhadapan dengan logika formal, tidak semata-mata merupakan persoalan yang
terjadi dari akhir abad ini saja namun sejak zaman sebelumnya.
2. Logika Formal Mendirikan Benteng/Hambatan (di Antara Segala Hal)
yang Tak Boleh Diterobos
Logika
formal memiliki kesalahan-kesalahan karena dikepung oleh persoalan-persoalan
material, ditelikung oleh ketidakmengertian terhadap fase perkembangan semua
persoalan, dan tak bisa mengerti mengenai cerminan, refleksi, kenyataan
objektif dalam jiwa kita. Antara kebenaran dan kesalahan tak ada fase
antaranya, tak ada tahap transisi dan rantai penghubungnya.
Hegel
bicara tentang hal tersebut: “Pikiran-Jiwa, mengabil posisi oposisi di antara
kebenaran dan kesalahan, serta menjadi pas, terlebih-lebih setelah diterima
entah sebagai perjanjian atau sebagai kontradiksi antara sistim filsafat. Dan
hanya melihat alasan pada sesuatu yang ada dalam pernyataan-pernyataan sistim
tersebut. Hal tersebut tidak lah menggambarkan perbedaan sistim filsafat
sebagai evolusi progresif kebenaran; tapi harus lebih dilihat sebagai
kontradiksi.”[8]
“Tunas
menghilang setelah bunga berkembang, dan dapat kita katakan: yang awal ditolak
keberadaanya oleh yang berikut; sama dengan setelah buah muncul, bunga bisa
dijelaskan sebagai sesuatu bentuk yang salah (dari keberadaan tumbuhan) bagi
kemunculan buah, dilihat sebagai kebenaran alamiah menggantikan bunga. Tahapan
tersebut bukan berarti sekadar pembedaan; yang satu merupakan pengganti, tak
tepat lagi, bagi yang lain. Aktivitas tanpa henti hakikat inherennya membuat
mereka, pada saat yang sama, dan dalam seluruh momentumnya, memiliki kesatuan
organik, yang bukan saja sekadar nmengkontradiksikan yang satu dengan dengan
yang lainnya, namun yang satu merupakan keniscayaan bagi yang lainnya; dan
keniscayaan (setara) seluruh momen tersebut lah yang menentukan kehidupannya
secara keseluruhan. Tapi kontradiksi antar sistim filsafat tidak bisa
diselesaikan dengan cara seperti itu; di lain pihak, pikiran-jiwa yang menerima
kontradiksi tersebut bukan berarti, secara akal sehat, ia memiliki pengetahuan
bahwa kebenaran merupakan hasil perbaikan dan pembebasan dari kesalahan
bersatu-sisi, dan mengakui bahwa semua itu merupakan hasil dari kehadiran
momen-momen selayaknya (niscaya) yang saling melengkapi atau
berbalasan—walaupun kelihatannya saling bertentangan dan, secara inheren,
antagonostik.”
Jika
kita menggunakan logika formal sebagai nilai, maka kita harus mengakui bahwa
semua hal, atau segala keadaan sesuatu, adalah mutlak independen dari segala
hal atau dari segala keadaan. Dunia diperkirakan sebagai segala sesuatu yang
eksis dalam kesendiriannya yang sempurna, terpisah dari segala hal.
Posisi
filsafat yang menggambarkan logika tersebut mencapai hasil akhir berupa: filsafat
idealis-subjektif, yang muncul dengan membawa asumsi bahwa tidak ada yang
benar-benar eksis, kecuali dirinya sendiri. Itu bisa diketahui dari soligisme
(dalam kata latin) solus ipse (aku
sendiri).
Itu
lah cerminan posisi absur dalam melihat sesuatu. Apapun teori yang
dikemukakannya, ia hanya mengakui keberadaan dirinya. Lebih jauh lagi, jika
kita mau sedikit lebih mendalam, bagaimanapun terisolasi dan independennya
sesuatu hal, sebenarnya ia membutuhkan keberadaan yang lain.
Untuk
berada dan menjadi dirinya, jika kita tidak menghubungkannya dengan sesuatu
yang terkait dengan realitas, maka kita tidak akan pernah bisa mengerti secara
tepat dan pas.
Segala
sesuatu akan melaju dan mengubah dirinya menjadi sesuatu yang baru. Untuk
mengerti hal tersebut, kita harus menerobos batasan-batasan formal yang
memisahkan satu dengan yang lainnya. Sejauh ini, kita tahu bahwa tak ada benda
yang diam.
“Preposisi
fundamental dialektika Marxisme: semua batasan dalam alam dan masyarakat adalah
konvensional dan bergerak, artinya: tak ada satu fenomena pun yang, ketika
berada di bawah kondisi-kondisi tertentu, tidak berubah menjadi bertentangan,”
kata Lenin.[9]
Dalam
skala sejarah yang lebih luas, Trotsky berkata bahwa: ”kesadaran tumbuh dari
ketidak sadaran, psikologi dari luar psikologi, dunia organik dari non-organik,
sistim tata surya dari nebula.”[10]
Penghancuran
batas-batas, perjalan sesuatu menjadi yang lainnya, ketergantugan bersamanya,
tidak terlepas dari garis perkembangan sejarah itu sendiri; semuanya berjalan
bersama kita. Kita bertindak berbasiskan ide, dan ide tersebut kehilangan
karakter mental yang mendominasinya serta menjadi kekuatan aktif di dalam dunia
lewat diri kita. Marx menunjukkan bahwa sebuah sistim ide, seperti sosialisme,
menjadi sebuah kekuatan material ketika ia berada dalam pikiran massa kelas pekerja, dan
akan bergerak dalam aksi-aksi untuk merealisasikannya—perjuangan menuju
sosialisme.
Segalanya
memiliki garis batas demarkasi, yang membatasi segala sesuatu. Bila tidak, ia
tak akan menjadi sebuah tubuh yang memiliki identitas yang unik. Kita harus
menemukan batasan-batasan tersebut dalam praktek dan menyusunnya dalam pikiran
kita. Tapi batasan-batasan tersebut jangan menjadi kaku dan menelikung segala
kondisi; batasan-batasan tersebut tak akan sama dalam setiap saat. Mereka
berfluktuasai menurut proses perubahan. Batasan-batasan relatif, gerak dan cair
dikenal namun ditolak oleh logika formal. Hukum tersebut menyimpulkan segalanya
memiliki batasan-batasan tapi, yang lebih penting lagi, bahwa batasan-batasan
tersebut memiliki pembatas-pembatas bagi dirinya.
3. Logika Formal Menolak Pembedaan Setiap Identitas
Kita
telah melihat bahwa logika formal menggambarkan pembatasan tajam antara kesamaan,
atau identitas (identity), dengan
perbedaan (difference). Semuanya
ditempatkan dalam pertentangan yang mutlak satu dengan yang lainnya. Jika
terdapat hubungan antara keduanya, dianggap kebetulan dan eksternal serta tidak
akan berdampak pada keberadaan internalnya.
Penganut
logika formal melihat semua itu sebagai sebuah kontradiksi logis, dan merupakan
sebuah horor yang mengerikan untuk mengatakan—seperti para penganut
dialektika—bahwa identitas bisa menjadi perbedaan, dan perbedaan bisa menjadi
identitas. Mereka yakin bahwa identitas adalah identitas dan perbedaan dalah
perbedaan, dan tidak dapat sama pada saat yang bersamaan. Coba kita bandingkan
kesimpulan-kesimpulan tersebut dengan fakta-fakta pengalaman yang diuji dari
kebenaran semua hukum dan ide.
Dalam
Dialectic of Nature, Engels
mengatakan: “Tumbuhan, binatang, dan setiap sel, setiap saat dalam hidupnya
adalah sama dengan dirinya dan menjadi berbeda dari dirinya, karena bergabung
dan mengalir dalam substansi hidup, karena respirasinya[11],
karena pembentukan sel dan karena kematian sel—lewat proses perputaran yang
bergantian, dengan singkatnya bisa disebutkan: karena ada perubahan molekul
yang membuatnya hidup. Dan karena kesimpulan dari setiap hasilnya merupakan
bukti bagi mata kita bahwa mereka memiliki setiap fase kehidupan: fase embrio,
remaja, kematangn seksual, proses reproduksi, usia lanjut dan kematian. Semua
itu adalah bagian�dari evolusi semua spesies di bumi. Fisiologi lebih lanjut
menggamblangkannya: yang lebih penting adalah ia tidak berhenti, tidak selesai
dan, yang lebih penting lagi, adalah bahwa semuanya tetap berbeda di dalam
identitasnya. Namun pandangan abstrak-kuno indetitas formal memahaminya bahwa
suatu organik berada seperti sebuah identitas yang sederhana dalam dirinya,
konstan dan statis—menjadi ketinggalan jaman.
“Namun
demikian, corak berpikir itu berbasiskan seperti itu, bersama dengan
kategorinya, terus menerus bertahan. Tapi, bahkan dalam hakikat non-organik
pun, identitas seperti itu tak terdapat dalam realita. Setiap orang terus
menerus menunjukkan dan menerima pengaruh-pengaruh mekanik, fisika dan kimia,
yang selalu merubah dan memodifikasi identitasnya.”
Hambatan/benteng
absolut tak mungkin bisa didirikan oleh logika formal—misalnya dalam kasus
antara dua hal yang saling berpenetrasi dalam realitas yang berlanjut,
bergerak—karena telah dicuci oleh proses perkembangan sehingga kemudian
perbedaan telah menjadi kesamaan. Sebelum kami datang ke gedung ini, kami
adalah orang-orang New York
yang berbeda-beda. Persamaan menjadi perbedaan: setelah pelajaran ini selesai,
kita akan berpisah ke tempat yang berbeda-beda. Perubahan dari perbedaan
menjadi persamaan dan persamaan menjadi perbedaan mengambil peran dalam semua
hubungan. Tunas yang mekar menjadi bunga, bunga menjadi buah, sehingga setiap
fasenya yang berbeda adalah menjadi bagian dari pohon yang sama.Tidak seperti
hukum logika formal, kesamaan material yang nyata tidak menyingkirkan dari
dirinya sendiri perbedaan-perbedaan yang ada tapi mengisi ke/di dalam dirinya
sebagai bagian yang esensial. Perbedaan nyata tidak membuang kesamaan tapi
memasukkannya sebagai elemen esensial di dalam dirinya. Kedua bentuk tersebut
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan membuat pembedaan dalam pemikiran,
tapi itu tidak berarti—seperti dalam logika formal—bahwa, dalam realita, mereka
bisa dipisah-pisahkankan.
4. Hukum-hukum Logika Formal: Absolut
Ketidaklengkapan
keempat hukum logika formal adalah bahwa mereka menyatakan dirinya sebagi
sesuatu yang absolut, mutlak, final, tak bersyarat, dan pengecualian adalah
tidak mungkin. Mereka mengatur dunia pemikirannya dengan cara yang totaliter,
memastikan kepatuhan yang tidak boleh dipertanyakan dalam segala hal, memanjat
otoritas tanpa batas demi kedaulatan mereka. A selalu sama dengan A, tak ada
satu pun yang bisa menggugatnya.
Sialnya,
bagi penganut logika formal, tak ada di dunia ini yang seperti mereka
kemukakan. Ternyata, segalanya hadir sebagaimana aslinya, dengan sejarah dan
syarat-syarat materialnya yang sudah tertentu, baik dalam hubungan satu dengan
yang lainnya maupun dalam keterpisahannya, dan setiap waktu proporsinya sudah
tertentu serta dapat diukur. Masyarakat manusia, contohnya. Manusia hadir di
muka bumi pada waktu tertentu dan secara material dibedakan evolusinya (lebih
tinggi) dari binatang. Namun
Ia tak dapat dipisah-pisahkan
sebagai sesuatu yang organik atau non-organik; mereka berkembang dalam
derajat-derajat tertentu dan kehadirannya telah melangkah jauh, tumbuh, secara
kwantitif penuh menuju kwalitatif yang berbeda. Setiap tahap perkembangan
sosialnya memiliki hukum perkembangan sendiri dan memiliki karakter-karakter
khususnya.
Hukum
yang mutlak tidak dapat lagi bertahan di dunia nyata. Dalam berbagai tahap
alam, perkembangan ilmu fisika, elemen kimia, molekul, atom, elektron diyakini
oleh pemikir-pemikir metafisika sebagai atau memiliki substansi yang tidak
berubah. Manusia tidak dapat mundur atau maju. Dengan kemajuan ilmu alam,
setiap bagian keabadian-mutlak telah ditumbangkan—setiap pembentukan
materialnya telah teruji memiliki syarat, terbatas dan relatif. Semua
kepentingannya yang menjadi mutlak, terbatas (secara absolut) dan tidak berubah
telah terbukti: salah.
Ketika,
pada akhir abad ke-19, ilmuwan mulai mengadakan dan memperoleh berbagai macam
penemuan, ilmuwan sosial Amerika Serikat malah meyakini bahwa demokrasi borjuis
merupakan bentuk mahkota pemerintahan bagi peradaban manusia. Namun, pengalaman
sejarah sejak 1917 telah menjadi saksi bahwa demokrasi borjuis telah ditumbangkan
oleh bolsevikisme dan fascisme—telah terbukti bahwa alangkah terbatasnya
sejarah ini, dan alangkah banyak serta bersyaratnya bentuk-bentuk kapitalisme.
Jika
setiap hal hadir di bawah syarat material sejarah tertentu, berkembang,
beragam, kemudian menghilang, bagaimana mungkin hukum absolut berlaku pada
segala hal dengan cara yang sama, pada derajat yang sama, di setiap waktu dan
di bawah semua syarat-syarat tertentu? Itu tentunya merupakan klaim yang dibuat
oleh logika formal. Tuntutannya pada realistas, dan dalam pencarian
hukum-hukumnya, logika formal menyebabkan ilmuwan jatuh pada kebutaan logika.
Pada
analisanya yang terakhir, hanya Sang Absolut lah yang memenuhi standar logika
formal. Sang Absolut lah yang seharusnya mulak, tidak terikat, sempurna,
independen dari segalanya...
5. Logika Formal Bisa Membuat Perhitungan tentang Segala Hal—Tapi
Bukan atas Dirinya
Akhirnya,
hukum logika formal, yang seharusnya memberikan penjelasan rasional bagi segala
hal, memiliki kesalahan yang serius. Logika formal tak bisa memperhitungkan
atas dirinya. Menurut teori Marxisme, segalanya menjadi ada karena hasil dari
sebab-sebab material, yang berkembang lewat fase-fase yang silih-berganti, yang
akhirnya mati.
Bagaimana
logika formal dan hukummya? Dimana, kapan dan mengapa segala hal bertumbuh,
bagaimana segala hal berkembang? Apakah segala hal abadi?
Jika
kau menantang penganut logika formal, bertanya bagaimana cara menerapkan
hukum-hukum logika ke dalam sejarah dan bagaimana menerima aturan-aturan
universal tersebut maka, tak ada yang berbeda, mereka akan menjawab seperti
halnya kaum monarki menjawabnya: kami melakukannya atas nama ... (Sang Absolut)
Kita
lihat berapa banyak kebenaran dalam dialektika dan agama seperti yang dibuat
profesor James Burnham dan Sidney Hook. Dalam kenyataanya, logika formal
berjalan bergandengan dengan ke-Absolut-an dan dogmatisme. Sebagai hukum-hukum
keabadian.
Logika
formal berdiri bersamaan dengan prinsip-prinsip keabadian moralitas, seperti
yang digambarkan Trotsky: “Surga selalu hanya dijadikan senjata—yang digunakan
dalam operasi militer—untuk melawan dialektika materialis.”[12]
Pada
kenyataannya, logika formal muncul dalam suatu masyarakat pada tahapan
tertentu, dalam sebuah titik perkembangannya. Dan, kemudian, manusia dapat
menundukkan alam; kemudian ia berkembang sepanjang pertumbuhan umat manusia,
sepanjang pertumbuhan tenaga-tenaga produktifnya, hingga bisa bekerja sama
dengan pemikiran dialektik, yang ditanamkan lewat perkembangan lebih lanjutnya.
Tempat bagi logika dialektik ada dimana saja, tapi dibutuhkan suatu revolusi
dalam pemikiran manusia untuk menempatkannya secara tepat.
Salah
satu kelebihan dialektika dari logika formal bisa dilihat dalam kenyataan;
tidak seperti logika formal, dialektika tidak hanya dapat menghitung keberadaan
logika formal namun juga dapat menunjukkan mengapa harus menggantikan logika
formal tersebut. Dialektika dapat menjelaskan tentang dirinya, pada dirinya,
dan pada yang lain. Oleh karenanya, dielektika lebih logis ketimbang logika
formal.
***
Mari
kita melihat bagaimana kemajuan kritik kita terhadap logika formal. Kita mulai
dengan mencari kepastian tentang kebenaran logika formal. Kemudian kita
mencapai sebuah batas yang, bila kita teruskan (pencarian tersebut), hanya akan
berisi kesalahan-kesalahan semata. Kemudian kita dorong maju melewati batasan
tersebut. Maka kita, akhirnya, akan menolak “kebenaran” logika formal yang tak
bersyarat, absolut, bertentangan dengan apa yang hendak kita pastikan.
Hukum
formalisme terlihat memiliki dua sisi, kebenaran dan kesalahan.Kemudian, ketika
segala hal menjadi lebih kompleks dan kontradiktif, hukum-hukum bisa berkembang
dan berubah sesuai dengan akal sehat saat menganalisa tendensi yang berlawanan
(secara terus menerus)—memang demikian lah hukum yang ada dalam diri segala
hal. Ketika kita meganalisa dua kutub yang bertentangan dari segi karakter
kontradiksinya, melepas saling-hubungan di antaranya, maka kita dapatkan
bagaimana dan mengapa masing-masing kutub tersebut menjadi berubah sesuai
dengan hukum-hukum dirinya masing-masing.
Itulah
metode dialektik yang digunakan dalam berfikir. Hasilnya, kita akan tiba di
depan gerbang dialektika dengan menggunakan jalur dialektik yang sejati. Itu
lah sebabnya juga mengapa kemanusiaan akan sampai pada dialektika, memegangnya
sebagai sebuah sistim perumusan pemikiran. Manusia menemukan batasan-batasan
dalam logika, namun bisa menundukkannya dengan membuat sebuah bentuk logika
yang lebih tinggi lagi secara teoritis. Dialektika membuktikan kebenarannya
dengan mengaplikasikan metode berpikirnya demi menjelaskan dirinya dan asal
usulnya.
Dialektika
hadir sebagai hasil dari sebuah revolusi sosial yang kolosal, menembus batas
semua bagian kehidupan. Dalam politik, representasi massa yang bangkit secara
tidak sadar kemudian dibimbing oleh pemahaman dialektik. Mengetuk pintu kaum
monarki dan menghancurkannya: “Waktu telah berubah, kami menuntut
kesederajatan!” Dengan semangat formalisme, dengan semangat logika formal, kaum
pembela absolutisme menjawab: “Kau salah, kau subversif, tidak ada yang berubah
dan tidak ada yang dapat berubah. Raja tetap lah raja, dimana saja dan kapan
saja. A sama dengan A, kedaulatan tidak dapat mensejajarkan manusia yang bukan
A, yang Non-A.” Alasan formal semacam itu tidak dapat membendung kemajuan,
kemenangan revolusi demokratik borjuis lah yang, kemudian, menghancurkan
monarki. Dialektika revolusioner, bukan logika formal, yang berlaku dalam
politik praktis.
Dalam
ruang ilmu-pengetahuan, logika formal terjerumus dalam kriris revolusioner yang
sama sebagaimana yang dialami politik absolutisme. Kekuatan baru
ilmu-pengetahuan bangkit dalam perkembangan alam dan ilmu sosial—yang memukul
logika formal yang sudah berkuasa ribuan tahun—guna menuntut hak mereka.
Bagaimana revolusi logika dimulai dan dan ke mana arahnya, akan dijadikan topik
berikutnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar