“Salah satunya dengan memanfaatkan etanol sebagai alternatif. Khususnya, bioetanol berbasis lignoselulosa,” ujar Peneliti Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 Kimia-LIPI), Dr. Agus Haryono.
Etanol diusulkan karena memiliki beberapa keunggulan dibanding BBM. Kandungan oksigen etanol tinggi (35 persen) sehingga menghasilkan bahan bakar yang bersih.
Hasil bersih ini ramah bagi lingkungan karena emisi gas karbon monoksida lebih rendah 19-25 persen dibanding BBM. Energi terbarukan ini tidak memberikan kontribusi pada akumulasi karbon dioksida di atmosfer.
Daya hasil etanol lebih stabil. Angka oktan etanol tergolong tinggi sekitar 129 sehingga menghasilkan proses pembakaran yang stabil. Proses pembakaran dengan daya yang lebih baik ini akan mengurangi emisi gas karbon monoksida.
“Campuran bioetanol 3 % saja mampu menurunkan emisi karbonmonoksida menjadi hanya 1,3%,” imbuhnya dalam pernyataan tertulis LIPI.
Darimana sumber energi ini dihasilkan? Salah satu sumber biomasa lignoselulosa non pangan di Indonesia tersedia di Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) atau Oil Palm Empty Fruit Bunch dan pelepah kelapa sawit.
Perkebunan sawit Indonesia memiliki luas sekitar 8,4 juta hektar. Sebanyak 21,3 juta ton minyak sawit yang dihasilkan tanah air menyimpan potensi TKKS 20 juta ton dalam keadaan basah atau 10 juta ton kering.
Dengan kandungan selulosa yang terbilang tinggi sekitar 41-47 %, maka satu ton TKKS dapat menghasilkan etanol sebanyak 150 liter. Bila dikalikan 10 juta ton tentu menghasilkan pasokan yang sangat besar. Hasil perkebunan sawit Indonesia dinilai mencukupi kebutuhan bahan bakar dalam negri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar